Riwayat Sungai Molenvliet Jakarta yang Terlupakan




Kondisi kali bersejarah tersebut seperti dibiarkan begitu saja.

Tanggal 22 Juni 2013, Kota Jakarta berusia 486 tahun. Banyak kisah yang diceritakan dalam berdirinya kota ini.

Salah satunya kisah dari kanal buatan bernama Molenvliet yang berada di tengah Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Pada era kejayaannya, sungai ini begitu menjadi pelecut kehidupan modern di Batavia. Dari tepian kali Molenvliet, tercipta kehidupan industri, bisnis, dan bahkan sistem tata kota modern.

Namun, kisah itu semua seakan sirna. Kali yang hanya memiliki lebar sekitar 15 meter dengan panjang 3 kilometer itu seperti menjadi sebuah sejarah yang terlupakan. Terlebih, kali bersejarah tersebut seperti dibiarkan begitu saja. Sampah, air kali yang bau, dan sedimentasi menghiasi salah satu etalase sejarah berdirinya Kota Jakarta.

Sungai Molenvliet dibuat pada 1648 oleh kapiten pertama Tionghoa bernama Poa Beng Gan. Sungai itu dibuat atas inisiasi Gubernur Jenderal kedua Batavia, Jan Pieterszoon Coen.

Tujuan pembuatan kali itu, di antaranya untuk menghanyutkan kayu dari bagian selatan Batavia untuk pembuatan kapal dan bahan bangunan di dalam tembok Kota Batavia. Selain itu, untuk memproduksi gula dalam jumlah besar, meski akhirnya produksi gula merosot akibat faktor alam atau pencurian.

Bahkan, sejarawan Betawi Alwi Shahab mengatakan, setelah Molenvliet berhasil menjadi penggerak bisnis di Batavia kala itu, pembangunan kota bergeser ke arah selatan. Terlebih, kastil Batavia sudah menghasilkan udara yang tidak sehat lagi sehingga banyak pejabat tinggi VOC mendirikan vila-vila mewah dengan taman yang luas di sepanjang tepian Molenvliet.


Hingga kini hanya ada beberapa peninggalan vila bersejarah yang menjadi saksi kejayaan Molenvliet pada eranya, seperti gedung Arsip Nasional milik Gubernur Jenderal VOC Reiner de Klerk dan tuan tanah dari keluarga Khouw dengan rumah Candranaya-nya.

Adolf Heuken, sejarawan Jakarta, mengatakan rumah Reiner de Klerk yang menjadi gubernur jenderal pada 1777-1780, yang dibangun pada 1760 tersebut, menjadi satu-satunya rumah yang masih tersisa dari begitu banyak buitenverblijven atau rumah luar kota yang pernah dibangun di sepanjang Molenvliet.


Hingga abad ke-18, kawasan tersebut merupakan kawasan elite sebelum berganti ke Weltevreden. Bahkan, ahli sejarah Scott Merrillees dalam tulisannya memaparkan, di semenanjung Molenvliet menjadi tempat-tempat peristirahatan (hotel) dan tempat-tempat penting, di antaranya yang saat ini bernama Gang Ketapang, di mana terdapat pabrik gas pertama di Batavia, Harmonie, dan Hotel des Indes.

Dia juga mencatat keberadaan Hotel Ernst di ujung Molenvliet Oost—sekarang Jalan Hayam Wuruk—dan Noordwijk—sekarang Jalan Juanda. Sebelum menjadi hotel, bangunan itu milik PA Van de Parra, yang kemudian menjadi gubernur jenderal (1761-1775). Pada 1890 nama tempat itu berubah menjadi Hotel Wisse hingga bangunan ini dihancurkan pada 1920.

Kanal Bersih

Toko pakaian pria "Bazar" di Jalan Gajah Mada, Marine Hotel di ujung Molenvliet West (kini di samping Gedung Bank Tabungan Negara), dan pusat belanja Eigen Hulp juga mewarnai Molenvliet. Sayangnya, semua kini sudah tak berbekas. Ironisnya, sejarah tersebut seperti tertelan bumi. Nama Molenvliet seperti aneh terdengar di telinga masyarakat. Mengenal kawasan Gajah Mada-Hayam Wuruk lebih banyak dikenal dengan gemerlap hiburan malam di kota metropolitan ini.


Padahal, Kasen (50), warga Glodok, masih ingat betul ketika kakeknya bercerita tentang Sungai Molenvliet. Meski tidak mengetahui pasti sejarahnya, dia bercerita, sampai 1960-an, jalan yang kini bernama Hayam Wuruk-Gajah Mada itu lebih dikenal dengan Molenvliet, katanya. Menurutnya, sebutan itu lantaran di sepanjang Sungai Molenvliet terdapat kincir angin yang meniru sistem pengairan di Belanda.

Sungai yang diapit kedua jalan yang selalu dihiasi dengan kemacetan itu merupakan anak Kali Cliliwung. Molenvliet merupakan kanal yang menyodet kali Ciwilung ke Kali Besar.

Lie Kwan (75), warga Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat, juga mengisahkan, di awal 1950-an, sungai ini masih memiliki air yang jernih sehingga oleh warga sekitar dijadikan tempat mandi, buang air besar, dan mencuci pakaian. "Dulu airnya bagus sekali. Kalau sekarang mah bau," ujarnya.


Bahkan, pada perayaan umat Tiong Hoa, Sungai Molenvliet sering dijadikan ajang pesta umat. Hingga 1950-an, Sungai Molenvliet seiring dijadikan berbagai pagelaran, seperti pesta perahu (Peh Cun) yang dihiasi lampion, pernak-pernik Cina, dan hiasan yang digelar malam hari.

"Dulu indah sekali, sepanjang sungai ada kincir angin. Kalau pesta rakyat dihiasi lampion dan pernak-pernik. Perahu melintas di sungai, sementara tanjidor dan tarian cokek mengiringi perjalanan perahunya. Sementara para peserta berjoget-joget ria di sepanjang jalan. Sekarang udah nggak ada lagi kayak gitu," katanya.

Namun sayang, sungai yang menjadi kewenangan Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu seperti terabaikan. Bahkan, fungsi sungai pun sudah berubah. Selain kotor, penuh lumpur, sampah, dan bau, fungsinya kini praktis hanya menjadi saluran yang tak terawat dan menimbulkan banjir.

Alhasil, Sungai Molenvliet pun kini sudah kehilangan fungsi awalnya ketika dibangun sebagai kanal pertengahan abad ke-17 untuk memperlancar arus barang dari selatan ke pusat kota, dan sebaliknya.

Alwi Shahab pun dalam tulisannya mengatakan, lantaran sudah kehilangan fungsi, pernah ada yang mengusulkan agar kanal Molenvliet ditutup, guna menampung kendaraan yang kian memacetkan lalu lintas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar